Europe Hidup di Belanda Life

Ramadhan di Belanda

4th July 2016 - 7 min read

Nggak kerasa sudah memasuki hari ke-29 di bulan Ramadhan. Kalau dilihat ke belakang rasanya cepet juga dan sedih mau ninggalin bulan yang baik ini. Begitu banyak janji-janji yang belum bisa terselesaikan, seperti contohnya baca terjemahan hingga khatam. Tapi insha Allah masih punya waktu untuk nyelesein sampe tahun ini habis. Paling engga janjinya untuk nyelesaiin di tahun 2016. Bismillah, semoga masih diberikan kesempatan.

Alhamdulillah, kali ini Ramadhan-nya sedikit berbeda. YES I AM A MARRIED WOMAN NOW! hihi dan juga lokasi tempat tinggal yang berpindah ke Amsterdam (artinya lebih dekat dengan kantor dan bisa bangun sedikit lebih siang dari biasanya). Menjalani bulan Ramadhan sebagai istri itu sangat menyenangkan. Rasanya semangat setiap hari mikirin dan diskusi bareng mau buka pake apa. Seneng mau masak apa aja, ada yang dengan senang hati dan tulus ikhlas habisin. Sesederhana itu… 🙂 Di kantor bawaannya juga semangat, semangat buat pulang 😛 nggak sabar rasanya cepet-cepet sampai rumah dan cuddle sebentar. Biasanya Damar selalu tidur setelah jam kantor dan baru bangun jam 21.00 untuk bantuin saya masak. Sedangkan saya cuma tidur-tiduran sebentar terus bangkit dan “ngapa-ngapain”. Ya ngerjain projek, baca buku/berita, liat vlog terbaru dari vlogger yang menginspirasi atau dengerin podcast. Ohya dan pastinya, google untuk cari ide untuk berbuka. Biasanya saya cari di cookpad, tasty, masaktv, atau kokikutv, atau sebenernya simply google aja. Nggak bisa diem banget deh pokoknya walau agak lemas.

Kebetulan karena bulan Ramadhan terjadi di musim panas, puasa di Belanda jadi jauh lebih panjang dari puasa di Indonesia. Totalnya sekitar 19 jam, dari pukul 03.00-22.00. Setelah sebelumnya research, saya memutuskan untuk mengikuti puasa dari terbenam hingga tenggelamnya matahari. Dari hadist yang saya baca, kita baru boleh menjalankan puasa lebih pendek jika tidak ada waktu terbenam matahari, contoh seperti di negara-negara Scandinavia. Di kondisi seperti itu, kita boleh mengikuti jam buka di negara islam terdekat (Turki atau Arab). Tapi itu semua tergantung preferensi dan kepercayaan masing-masing ya, yang berpuasa mengikuti jam Indonesia juga adadan sah-sah aja. Tapi itulah indahnya perbedaan, kita cuma perlu toleransi dan menghormati. Karena bukannya itu poin penting bulan Ramadhan? Anyway, saya jadi sadar gimana powerful-nya the power of mind karena sebenernya semuanya itu bermula dari niat dan mindset. Saat kita yakin kita bisa, kita akan bener-bener bisa dan cari cara untuk menyempurnakan niat kita. Saya percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di hidup kita itu adalah hasil dari manifestasi proses kita meng-attract sesuatu yang baik untuk datang ke diri kita. Saat kita menjalankan sesuatu setengah-setengah, maka begitu pun juga hasil yang akan dituai.  Life has so many things to offerlet it offer you good things by thinking good. Saat kita bersyukur dan punya niat yang baik akan sesuatu, maka kita pun akan diberi lebih-lebih oleh hidup. Rasanya akan bahagia terus, karena kita jadi terbiasa melihat sesuatu dari perspektif yang baik.

Bagi saya, ajang puasa nggak cuma jadi ajang untuk beribadah tapi juga untuk mempromosikan agama islam. Bahwa islam nggak melulu hanya soal terorisme. Banyak teman-teman bule yang nanya tentang puasa, Ramadhan, dan alasan kenapa saya harus melakukannya. Ini kesempatan yang tepat banget untuk menjelaskan ke mereka tentang agama saya, gimana islam sangat mengedepankan kasih dan toleransi. Walaupun mereka selalu melihat saya dengan pandangan iba, sudah kering kurus kecil gini, tapi harus nggak makan dan minum selama 19 jam haha Saya berusaha ngejelasin dengan bahasa yang sesimpel dan nyampe ke pikiran mereka yang nggak percaya dengan Tuhan. Saya ngejelasin bahwa ini adalah  sarana untuk belajar ngekontrol pikiran kita, dan karena niat yang kuat saya jadi nggak ngerasa kesulitan (padahal kadang haus juga hahah). Saya bilang ke mereka bahwa saya juga jadi jauh lebih bersyukur dan nggak take things for granted karena saya menahan lapar dan haus seharian with knowing kalau malamnya saya bisa masak dan makan enak. Sedangkan orang-orang di negara bagian lain harus menahan rasa haus dan lapar endlessly karena mereka nggak tahu kapan bisa makan/ minum. Kolega-kolega saya di kantor sih mengangguk-angguku terkesima. Semoga itu membuka sedikit pikiran mereka bahwa ada contoh muslim yang menjalankan kewajibannya dan tetap open minded dengan segala perbedaan. Karena gimana-gimana saya adalah agen yang bisa membagikan hal-hal baik terhadap sesama.

Perbedaan puasa di Belanda di Indonesia

1. Panjang durasi- 19 jam

2. Ta’jil dn makanan buka yang harus disipakan dan bikin sendiri

3. Nggak ada kue kering! kecuali buat sendiri

4. Azan nggak akan kedengeran (karena disini dilarang) kecuali denger dari Youtube atau dari islamic Finder. Biasanya kita melototin jam kalau udah deket-deket waktu buka

5. Dulu di Indonesia, saat Ramadhan kita semua berlomba-lomba untuk tarawih di masjd. Kalau disini, kecuali mau begadang dan nggak tidur, baru bisa. Karena tarawihnya pukul 12 malam

6. Jarak antara berbuka dan sahur hanya 4 jam

7. Suasana kosong melompong, biasa aja kaya nggak ada apa-apa kecuali tinggal di neighborhood orang Turki atau Maroko

By the way, kemarin saya seneng deh akhirnya tercapai untuk bikin kue kering. Kemarin bikin Nastar dan Putri Salju (dari Resep NCC dan dari resep sahabat saya, Tania). Enakkkkk, tapi cuma bikin setoples dan nggak boleh dimakan sampai Hari Raya. Di sini, ambience Ramadhan dan hari Raya cuma bisa diciptkan sendiri, dan saya bersuka cita sekali melakukannya. Rencananya pengen bawa manis-manis ke kantor hari Kamis nanti untuk berbagi ke mereka dan untuk cerita bahwa saya sukses berpuasa sebulan penuh (minus seminggu). Di Belanda itu sebutan hari Raya adalah Suiker Feest (english: Sugar Festival), so it’s always associated to a day full with sweets, hence the plan. Ah we’ll see!

WhatsApp-Image-20160702 (1) WhatsApp-Image-20160704

You Might Also Like

No Comments

Leave a Reply