Browsing Tag

Indonesian minimalist

Hidup Minimalis Zero Waste Journey

Hal-hal yang saya berhenti membeli

25th March 2018 - 5 min read

Beberapa barang yang saya sudah nggak lagi beli, karena saya sadar itu sebenernya nggak terlalu penting dan butuh untuk saya. Dan mungkin juga nggak terlalu kalian butuhkan. Karena bahwasanya hidup secukupnya itu enteng dan membahagiakan….

 1. The “shoulds”

Banyak miskonsepsi soal apa yang membuat rumah menjadi ‘rumah’. Seperti harus ada TV, CD player, PS, harus punya banyak macam sprei, sandal rumah, gelas piring fancy untuk tamu dll. Dont buy things because you SHOULD. Well I did it and I learnt from it. Hanya soal waktu kami akan menjual tv di rumah kami. Karena intensitas pemakaian hanya sedikit dan di waktu luang biasanya kalau nggak sibuk dengan laptop kami masing-masing, kami keluar rumah atau have people over untuk ngobrol.

Soal bathrobes, sprei, lap dan lain-lain, to be honest dua itu cukupWith a good quality ones, karena yang kita perlukan hanyalah pengganti saat yang satu lagi dicuci. That is all! Bener nggak? And dont buy things that won’t last. Go for a better quality.

2. Duplicates

Lima gunting, dua peelers, dua handphone (yang mungkin satunya udah nggak kerja), empat bathrobes. Seringnya kita beli barang baru tanpa clear out dulu barang yang lama (yang udah rusak atau bahkan yang kita nggak tau di dalam rumah). Kadang kita mikir, ah saya nggak punya gunting, padahal ada dan kamu lupa karena jarang banget dipake atau mungkin kamu kira hilang. When you have less stuff, this thing won’t happen.

Kalau misalnya ada barang di rumah yang udah rusak, throw it or better yet find another home for it before you get a new stuff.

3. Spur of the moment – Diskonan

Dulu jaman kuliah, saya kerjaannya berburu diskonan. Masuk ke toko nggak jelas apa yang mau dibeli, justifikasi bahwa saya memerlukan sesuatu yang sebenernya saya nggak perlukan demi kebahagiaan sesaat. Hafal banget waktu-waktu diskon pada jamannya mulai dari H&M, Zara, River Island, dan macam-macam toko lainnya. Sekarang saya udah sama sekali nggak ngerti kalau ditanya sama mama (karena mama suka sekali dengan fashion dan bajunya buanyak banget – kemungkinan besar memang saya ketularan hehe). Dan saya nggak ngerasa terbebani dengan pakai barang-barang sama setiap hari. Mungkin itu salah satu kelebihan tinggal di luar negeri karena social pressure yang rendah, walaupun akhirnya saya percaya itu semua pilihan ya. Saya beruntung bisa adapt dengan kebiasan yang menurut saya baik ini.

Untuk tetap mendapatkan diskonan, biasanya saya list barang yang saya dan Damar perlukan. Biasanya kalau ini menyangkut barang-barang yang tingkat ke-urgensi-annya rendah seperti jaket gunung, alat camping, baju dalem dll. Saya termasuk tipe orang yang pemikir banget kalau beli-beli sesuatu kadang suka kesel ke diri sendiri karena jadi lama banget kalau harus belanja atau milih sesuatu, tapi sebenarnya itu blessing in disguise karena saya selalu mikir berkali-kali untuk membeli sesuatu yang baru. Akan banyak pertimbangan sekarang-sekarang ini untuk membeli sesuatu yang baru.

4. Cleaning products

Banyak macam-macam tipe pembersih. Perusahaan-perusahaan itu menciptakan perbedaan ‘fungsi’ untuk berjualan, bukan karena kita perlu. I stick with standard all purpose cleaning (vinegar – resep disini) dan pembersih untuk marble+batu.

5. Ingredients buat di dapur yang nggak ngerti kegunaannya

Being adventurous is nice. Ini bicara pengalaman banget sih, karena kalau ke toko kadang liat barang diskonan dan mata jadi ijo walaupun nggak ngerti barang itu buat apa. Jadi sekarang biasanya saya beli yang super basic, food ingredients I know I will use. Karena akhirnya akan berakhir di tong sampah saat sudah kadaluarsa. Saya jadi inget punya garam masala yang harus saya pakai sebelum kadaluarsa. Dulu beli ini karena it sounds really indian dan padahal untuk bikin makanan india nggak harus selalu perlu spice itu. Always do a proper research before picking things up from Supermarket shelves. 

6. Fancy tech things

Kalau kalian perlu hal ini untuk pekerjaan kalian, it’s okay. Karena barang itu akan serves its purpose dengan baik. Tapi kalau nggak butuh dan bahkan nggak tau cara pakainya, baiknya dihindari. Kalau kalian nggak terlalu into photography, why buy something expensive. Maksimalkan apa yang kita punya dulu, mungkin dengan Iphone dan belajar dari situ dulu sekalian mencoba apakah kita bener-bener suka dengan itu.

7. Fun Kitchen Gadget

They’re fun, but how often do we use it. I also stop giving people that.

8. A million make up products or brushes

Make up di tas make up saya hanya ada eyeshadow pallete, blush on, eyeliner, concealer, lipstik, mascara dan brush untuk eyeshadow. Udah itu aja dan nggak berencana untuk beli lebih. Semuanya satu kecuali lipstik (4 biji), because why do you need more? 

Indonesian minimalist

Semoga menginspirasi untuk lebih selektif mengurangi barang dan fokus ke what is important 🙂

Hidup Minimalis Zero Waste Journey

Hal-hal yang bisa disingkirkan untuk hidup Minimalis

15th March 2018 - 6 min read

Buat saya, minimalis bukan tentang berapa banyak atau sedikit hal yang kita miliki. Bukan juga soal memaksakan diri kita untuk let go sesuatu yang berarti untuk kita. Nggak ada yang salah dengan punya barang karena beberapa hal membuat hidup lebih mudah, lebih indah, lebih bahagia, dan lebih nyaman.

Tapi hal yang perlu dimiliki oleh kita adalah kesadaran. Sadar akan prioritas dan sadar saat membuat keputusan untuk menyimpan barang, karena salah-salah bisa jadi kita yang dikuasai oleh barang. Tiba-tiba aja rumah bisa jadi penuh dengan barang-barang yang nggak terpakai dan hal-hal yang nggak punya value ke kehidupan kita. Barang semakin bertambah banyak dan tanpa kita tau kita nggak punya cukup tempat.

Setelah ngobrol-ngobrol sama beberapa temen, ternyata banyak juga yang kepengen simplify hidupnya tapi bingung mulai darimana. Untuk saya, saya ngerasa setiap saya pindah rumah, itu adalah momentum untuk mengurangi volume barang yang dipindahkan. Tapi yang penting, tujuannya sudah diset dari awal bahwa pengurangan barang ini akan dimaintain kedepannya.

Kalau emang nggak ada momentum pindahan, mulailah dari tempat yang paling mudah. Kenali hal-hal yang kita yakin nggak menambah nilai di kehidupan kita. Contohnya: lemari yang berantakan dengan sprei dan handuk yang berbeda-beda warna, kenali sebenernya berapa handuk dan sprei yang bener-bener kita perlukan dan kita gunakan. Utilities ekstra di dapur yang sudah tak tersentuh selama bertahun-tahun, berapa banyak piring dan mangkuk yang benar-benar kita butuhkan? Saya baru nyadar kemarin ini bahwa saya sebenernya nggak perlu punya 3 set (x6) piring dan mangkuk di rumah, akhirnya saya kasih ke temen yang kebetulan memerlukan. Dulu tujuan awalnya adalah jaga-jaga kalau ada tamu, but as a matter of fact seberapa sering ada tamu datang dengan jumlah 3 set perangkat makanan. Pun kalau misalnya bener terjadi kita bisa bekerja sama dengan temen deket atau tamu untuk meminjamkan alat mereka.

Saya ngerasa saat saya punya lebih sedikit barang atau at least barang-barang yang bener-bener berarti buat saya, ada perasaan lega karena saya tau apa yang saya punya dan saya benar-benar menggunakan sesuai fungsinya. Perasaan light atau enteng juga jadi salah satu alesan kenapa saya pengen berhidup minimalis.  Rasanya jauh dari suffocated. Dulu waktu saya kuliah, saya bener-bener kebalikannya, kerjaannya beli baju tiap minggu dan selalu nongkrongin toko-toko. Hidup jadi dipusingkan oleh hal-hal yang sebenernya nggak necessary, mulai dari bingung mau naruh baju dimana, beberes lemari yang akhirnya jadi berantakan lagi, mau pake baju apa dan sebagainya.

Juga dari punya yang seperlunya dan hidup sederhana, saya ngerasa belajar untuk nggak attach terhadap benda..

So, let’s get started dari hal yang paling kecil dan mudah dulu.

Getting started is freeing. Amid an endless sea of stuff, simplfying our lives keeps us from drowning.

Memulai adalah membebaskan. Di tengah lautan yang tak ada habisnya, menyederhanakan hidup kita membuat kita tidak tenggelam.

Saya paham banget bahwa memulai adalah hal yang paling exciting tapi juga yang paling susah dikerjakan, karena tanpa panduan yang jelas memang akan membingungkan. Berikut, sedikit rincian barang-barang yang bisa kita get rid of untuk memulai hidup minimalis:

Barang yang kita nggak tahu kegunaannya

Sadar nggak sih kita tuh suka nyimpenin barang-barang yang aneh-aneh yang kadang kita juga nggak tahu esensinya apa. Kayak tempat koin yang lucu-lucu atau alat elektronik murah. Biasanya beranggapan, suatu hari nanti akan butuh, jadi disimpen aja. Padahal saat kita nggak tahu kapan mau pake atau bahkan ga tau kegunannya apa, chances are nggak bakal kepake juga di bulan-bulan ke depan.

Baju yang bikin kita nggak comfortable dan udah lama nggak dipake

Kalau baju yang kita punya nggak bikin kita ngerasa comfort atau cantik, baju itu nggak akan berubah jadi bagus any other day. Kita nggak bakal lebih tinggi, lebih pendek, lebih gendut atau lebih kurus untuk fit baju yang kita punya. Better to donate this.

Kado yang kita kurang perlu atau kurang suka

Sama kayak yang dibilang Marie Kondo, bagian ini adalah bagian yang paling susah. Kita suka ngerasa jahat karena nggak menghargai effort orang yang kasih barang ke kita. Sedangkan tujuan mereka memberi kado adalah membuat kita happy dan menunjukkan perhatiannya. Tapi kalau kadonya malah berbuat kebalikannya karena jadi makan tempat atau kita nggak butuh, mending dikasih ke orang lain supaya kadonya bisa fulfill its purpose for other people. Dan juga sebenernya esensi dari pemberian kado sudah tersampaikan dengan baik, kita jadi tahu bahwa temen kita sayang sama kita.

Barang yang udah rusak

Kalau barang udah rusak, coba dicek bisa dibenerin atau dijual nggak. Dulu saya sering tuh kalau ada barang rusak bakal saya simpen-simpen aja sampai masanya datang, nunggu-nunggu sampai ada orang lain di deket kita yang perlu. Kalau kaya gini mendingan dijual aja. Nggak cuma membebankan energi pikiran tapi juga bisa dapat ekstra uang saku.

Old magazines

Ini juga nih salah satu biangnya. Rasanya suka sayang aja gitu untuk membuang atau mendonasikan majalah-majalah lama yang sudah kita baca. Kadang pengennya adalah dibaca lagi di masa depan tapi biasanya, berbicara dari pengalaman, saya jaraaaanggg banget baca lagi. Biasanya numpuk ajah yang akhirnya jadi berdebu.

All ini all yang paling menyenangkan saat punya barang secukupnya adalah so easy to move out or travel because you just need to pack up your bag. At the end, I want things that fit me, I don’t want myself that fit things.

Less stuff means I need less space, less cleaning, less maintenance=more time, more money, more freedom

 

Hidup Minimalis Self growth

Konsep hidup minimalis dan Tips beberes ala Marie Kondo

26th November 2017 - 3 min read

Sekitar 3 tahun yang lalu saya pertama kali denger soal konsep ‘minimalisme’ dari kakak saya. Dia nggak sengaja ketemu TED Talk dua orang Amerika yang menyebut diri mereka ‘The Minimalists’. Ternyata mereka merupakan pioner yang menyebarkan konsep minimalisme di Amerika dan akhirnya di dunia. Lewat blog dan TED Talk-nya,  Mereka sukses mengispirasi banyak banget orang untuk belajar lebih jauh lagi soal minimalisme dan bahkan mengaplikasikan konsep itu ke hidup mereka.

Sejak kecil Bapak saya selalu ngajarin saya dan kakak-kakak saya untuk menjadi manusia sederhana yang tidak berlebih-lebihan, jadi sebenarnya konsep itu bukan hal yang baru bagi saya. Bukan dalam hal berminimalisme-nya tapi dalam hal untuk tidak meletakkan materialisme di atas hal-hal lainnya yang lebih bersubstansi. Saat jaman kuliah dulu saya belum mampu mengaplikasikannya secara drastis, mungkin karena saya masih terlalu naif untuk bisa memprioritaskan mana yang berarti untuk hidup saya. Jadi yang saya lakukan ya secukupnya (yang menurut saya saat itu sudah terhitung drastis), dan saya mulai beberes saat kamar/rumah sudah terlihat berantakan. Biasanya masih ada rasa sayang untuk membuang barang-barang yang ‘berarti’ misalnya baju-baju hadiah, baju yang saya beli mahal (tapi cuma dipakai sekali dua kali), dan lain-lain. Yang bikin saya heran, rapihnya itu bener-bener cuma sesaat dan in no time kamar/rumah saya mulai berantakan lagi.

Sampai akhirnya saya baca buku (rekomendasi dari mas Nicko, kakak saya) yang ditulis oleh Marie Kondo berjudul ‘The Life-changing Magic of Tidying up’.  Ada beberapa point yang saya serap dan sampai sekarang masih ada di kepala saya. Yeslong story short, her method works in my life!

  • Sekali declutter, kita nggak akan perlu untuk declutter lagi
  • Konsep untuk hanya menyimpan barang yang Spark joy. Ini relatif berbeda-beda pastinya setiap orang, tapi pada saat kita menerapkan metode KonMari, kita jadi membiasakan diri untuk menggunakan intuisi dan mendengar mana hal-hal yang penting untuk kehidupan kita. Remember untuk ‘put quality over quantity’
  • Buat 3 kategori saat beberes: untuk disimpan, untuk dipikirkan dan untuk dibuang/didonasikan. Beri 3 bulan untuk kategori ‘untuk dipikirkan’, setelah 3 bulan dan barang itu masih nggak dipakai dan nggak direncanakan untuk dipakai, barang itu harus dibuang/didonasikan.
  • Think “why should I keep this?” instead of “what should I get rid of?”

Berikut ini manfaat-manfaat dari hidup minimalisme/sederhana/secukupnya

  • Clear mind
  • Eliminate our discontent
  • Reclaim our time
  • Live in the moment
  • Pursue our passions
  • Discover our missions
  • Experience real freedom
  • Create more, consume less
  • Focus on our health
  • Grow as individuals
  • Contribute beyond ourselves
  • Rid ourselves of excess stuff
  • Discover purpose in our lives

 

PDF clean up KonMari Method checklist (downloadable)

Blog: https://www.theminimalists.com/

TED Talk: https://www.youtube.com/watch?v=GgBpyNsS-jU

KonMari Book Article: https://lifehacker.com/the-life-changing-magic-of-tidying-up-mind-hacking-adv-1749135755