Self growth Thoughts

Jilbabku..

9th February 2014 - 10 min read

Caution: Saya nulis ini hanya bertujuan untuk mengingatkan diri saya sendiri jika nanti akhirnya memutuskan untuk menggunakan jilbab, bahwa jilbab bukan hanya ornamen dalam berpakaian melainkan identitas diri yang sangat esensial. 

Kenapa jilbabku? Apakah saya menggunakan jilbab atau ingin berjilbab dalam waktu dekat? Jawabannya tidak. Kata -ku disini merepresentasikan masing-masing individual sebagai kata kepunyaan, karena menurut saya pribadi saat hijab itu menempel di kepala, hijab itu adalah milik kita yang harus kita pertanggungjawabkan.
Saya termasuk orang yang beruntung karena saya diberi jalan untuk memiliki kesempatan untuk mengobservasi orang-orang dari latar belakang dan kultur yang berbeda-beda. Di Belanda, banyak sekali imigran-imigran dari negara muslim yang didominasi oleh Turki dan Maroko. Tiap tahun jumlah mereka selalu bertambah, hampir 3%. Sehingga di setiap meter kita berjalan, orang-orang itu tidak akan pernah luput dari pandangan dan perhatian. Bukan hanya wajah yang eksotis dan kearab-arab-an yang menarik, tapi perilaku mereka yang cenderung negatif dan tidak bermanner. Saya tidak berstereotype, tapi begitulah nyatanya, sebagian besar dari mereka yang berjiilbab dan membawa nama besar arabian/middle east malah yang tidak berakhlak. Sekali lagi, tidak semuanya.. Tapi sebagian besar..
Whilst pada kenyataan, jika 3 orang dalam satu komunitas membuat kesalahan, satu komunitas itu akan terlihat tercela. Nila setitik, rusak susu sebelanga. Tidak perlu jauh-jauh memikirkan issue teroris di planet ini, atau jaringan-jaringan islam yang sudah keluar dari syariah agama itu sendiri *duile tinggi amat* Di depan mata saya, saya melihat jelas bagaimana orang-orang islam ini “mencorat-coret” nama dan wajah muslim mereka. Itukah cerminan islam yang sesungguhnya? Tentu sebagian besar penduduk asli di sini bertanya-tanya, what is wrong with this religion? has it been taught? has it written?. Telah hilang rasa percaya mereka terhadap orang-orang ini, yang sayangnya adalah muslim. Kaya logika matematika A+B, B+C-> A=C. Akhirnya, orang-orang islam dipandang sebelah mata, dipertimbangkan dalam skala internasional sebagai ancaman. Ouch.. It hurts

Anyways, itu tadi hanya sedikit gambaran.
Saat saya pertama kali menapakkan kaki di Belanda, teman-teman bule saya heran karena saya muslim tapi tidak berjilbab. Saya memberi jawaban yang hanya ‘numpang lewat’, tapi saya sadar bahwa itu tidak akan merubah image islam di mata dunia, jika tidak dimulai dari skala kecil. Karena saya juga sedang belajar akhirnya saya pun mencari tau makna dan alasan sesungguhnya mengapa saya tidak menutup kepala hingga detik ini, selain karena belum siap tentunya.
Jujur saja, saya pernah meragukan agama saya yang saya anut, tentang keeksistensian Tuhan dsb. Kenapa orang-orang disini yang tidak paham akan konsep Tuhan dan agama cenderung lebih bahagia, lebih disiplin, lebih makmur, lebih beruntung, tidak ada korupsi, lebih mengasihi dan toleran? Kenapa sih? Apa takdir itu tidak ada wujudnya, apa kita menentukan sendiri jalan hidup kita selama kita disiplin dan bekerja keras? Memang susah mendeskripsikan hal yang tidak berwujud. Tapi saat saya mendengar lebih dalam, hal yang bisa saya simpulkan adalah mereka tidak memiliki tujuan hidup, karena mereka tidak percaya akan adanya pemberhentian berikutnya setelah dari dunia. Jadinya, mereka melakukan semua hal yang membuat mereka bahagia dan semuanya berkaitan dengan nilai-nilai duniawi. Ada sebagian diri mereka yang hilang.. Tidak perlu mereka berkata, tapi saya bisa melihat. Tidak ada tempat mengadu selain manusia, akhirnya mereka melampiaskan kegelisahannya pada ‘minuman-minuman’ dan kebahagiaan duniawi lainnya.
Di perjalanan pencarian saya, saya membaca sebuah buku yang memiliki jawaban logis yang cocok untuk para atheist/agnostic yang mengarah pada pertanyaan ‘mengapa kamu sholat, mengapa kamu beribadah untuk hal yang tak jelas?’. Kadang pertanyaan soal mempercayai hal abstrak memang mengembang. Ngapain nyusahin hidup sendiri, melakukan peraturan undang-undang ‘agama’ kalau toh kita nggak tau kalau memang benar-benar ada surga dan neraka. Kita perlu menganalogikan surga sebagai asuransi. Contoh: kita membayar asuransi untuk handphone setiap bulan tanpa mengetahui apakah akan berguna atau tidak, tapi kita merasa aman saat asuransi di bayar dan di tangan. Jadi saat tiba-tiba handphone kita jatuh dan pecah, semuanya terasa lebih mudah dan yang dibayar selama ini paid off. Sama dengan Tuhan dan surga, kita beribadah pun akan merasa aman dan tenang (karena kita percaya), saat ternyata surga memang tidak ada, there’s nothing to lose, karena kita melakukannya tidak dengan keterpaksaan dan dengan rasa aman yang tak tergantikan. Tapi jika ternyata memang ada, kita pun beruntung dan memiliki bahagia abadi..
Ada sebuah cerita, seseorang sedang potong rambut di seorang tukang cukur. Tiba-tiba tukang cukur itu membuka percakapan, ‘saya tidak percaya dengan adanya Tuhan’. Yang dipotong pun berkata ‘kenapa?’. Karena kalau Tuhan memang ada, tidak akan ada kemiskinan, korupsi, dll. Yang rambutnya dipotong pun hanya mengangguk sambil berpikir keras. Setelah selesai, dia  pun keluar dan melihat seorang pengamen berbaju lusuh dan berambut gondrong. Lalu orang itu pun bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa bapak itu berambut gondrong dan kotor seperti tidak pernah dicuci, padahal kan ada tukang cukur? Bukan berarti ada tukang cukur lalu semua orang harus memotong dan memelihara rambutnya kan? Dan bukan berarti tukang cukur bertanggung jawab atas hak preogratif orang-orang untuk mencukur dan merawat rambut mereka? Yak, dia pun mendapatkan jawabannya. Begitu pun dengan kasus pertanyaan Tuhan…

Kemarin sore, saya mengantar Qila, keponakan saya, mengaji TPA di masjid Indonesia di Belanda. Saya bertemu dengan seorang teman yang baru-baru ini memutuskan berjilbab, lalu kita bercakap-cakap yg dimulai dengan celetukan saya ‘pengen deh sebenernya berjilbab’. Dia dengan cepat menjawab, ‘ah ngapain, tar dulu aja masih muda, nikmatin dulu’. Alasan dari jawaban itu saya bisa mengerti, tapi kalau menunggu siap dan menjilbabi hati terlebih dahulu, sampai kapanpun pasti akan ada alasan untuk tidak berjilbab.
Ada beberapa kepercayaan yang mengatakan bahwa memakai jilbab tidak bisa diperbandingkan dengan akhlaq. Karena memakai jilbab adalah kewajiban, sedangkan perilaku tergantung pribadi masing-masing. Sama dengan orang sholat tapi mencuri, orang puasa tapi bergosip.. Apakah memakai jilbab memang kewajiban? Baca al-quran lagi deh 🙂 secara pribadi yang saya anut, memakai jilbab adalah identitas yang harus dipertanggungjawabkan.
Setelah saya pikir-pikir lagi, jika saya nanti menggunakan jilbab, saya perlu bertanya kembali mengapa saya memutuskan itu? Karena pada saatnya nanti, saya ingin menggunakannya sesuai syar’i dan tidak hanya asal menutup kepala. Juga dengan attitude dan manner yang sederhana dan berkelas sebagai seorang wanita. Tentu saja, ini hanya pandangan pribadi saya. Sekian.

intermezzo
Eh iya ada fakta menarik deh, saya dan kakak ipar saya ngobrol casual tentang ajaran-ajaran agama islam yang sedikit2 dianggap bid’ah oleh ekstrimist di Indonesia. Awalnya gara-gara saya cerita, waktu sholat maghrib berjamaah di masjid, si Aqila tiba-tiba pindah posisi ke depan orang yang lagi sholat. Saat itu saya berdebat dalam diri, gendong gak ya, pindahin gak ya, tapi uda rakaat ke-2, batal dong (sholatnya jadi nggak konsen). Akhirnya waktu saya sujud, saya geser dia, tapi gak mempan hahaha kakak ipar saya bilang, harusnya gendong aja gapapa. Jangan sampe masalah agama kamu perdebatkan terlalu panjang dalam diri. Itu tuh indonesia banget, terlalu banyak aturan ini itu.
Padahal, cara beribadah itu ada bermacam-macam interpretasinya, asal masih berdasar dan tidak terlalu jauh melenceng harusnya tidak apa-apa. Dulu saya pernah diberi tahu guru SD saya kalau mengusap muka setelah selesai sholat, hukumnya adalah bid’ah ??? hahahah yes that’s right.
Nah lalu, si Mas Holly bilang, salah satu sebabnya adalah karena kita penganut islam yang masih “baru”. Dimana-mana semua yang baru pasti akan terlihat sangat niat dan berusaha sebagaimana caranya untuk mengimplementasikan aturan-aturan yang baru dipelajari secara sempurna yang pada akhirnya end up lebay.
Sama hal-nya kaya syiah dan sunni yang rame banget diperbincangkan di indonesia. Rasanya selalu jadi masalah.. Padahal sebenarnya semua tujuannya sama kan? Menyembah dan menjadi hamba Allah yang khusnul khotimah. Kalau jalannya beda, terus kenapaaa? *sedikit emosi* Konon kabarnya, masih kata mas Holly, permasalahan sunni syiah mulai marak baru pada tahun 2005. Kenapa yaaa?
Karena konon lagi, pada saat itu, banyak sekali mahasiswa2 yang dikirim ke Arab dan sekitarnya untuk belajar ilmu agama. Dan sudah rahasia umum kalau Arab berkiblat pada sunni dan mengkafirkan syiah. Nah disitulah peperangan dimulai… Merasa benar, mereka pun berdakwah dan berkoar-koar menegakkan ‘kebenaran’.
Soal Syiah dan Sunni pada awalnya adalah masalah politik yang kemudian dikaitkan dengan agama *cerita lama*. Tapi secara teologis tidak ada perbedaannya. Beberapa imam besar yang berusaha netral malah dianggap melenceng dari ajaran agama. Aneh! Benci banget sama orang-orang yang terlalu ekstrim kaya gini. Sebenarnya, itu urusan mereka untuk menganut ajaran tertentu, tapi tidak perlulah mengkafirkan orang lain dan meletupkan kebencian yang berakhir perang. Memang Allah pernah ngajarin?
Bapak saya pernah bilang kalau dia selalu mengacu perkataan Imam Syafi’i ‘….saya yakin pendapat saya benar, tapi tidak menutup kemungkinan pendapat orang lain juga benar….’ 
Pada akhirnya semua kembali ke hubungan personal antara diri kita denganNya dan tidak akan ada yang bisa menganggu gugat. Termasuk juga keputusan saya untuk berjilbab nantinya 🙂

xxx

You Might Also Like

No Comments

Leave a Reply