Browsing Category

Thoughts

Thoughts

Merdeka!

20th August 2016 - 3 min read

Pagi itu saya terbangun dan seperti biasa cek sosial media di telpon selular. Feed sosial media sudah ramai dengan berita dan post dari temen-temen di tanah air mengenai ulang tahun RI yang ke-71 ini. Sebetulnya nggak pernah ada di benak saya untuk rindu dengan hal-hal nasionalis kecil seperti perayaan 17 Agustus-an atau upacara bendera. Tapi melihat orang-orang di tanah air ramai merayakan, tiba-tiba rasanya pikiran melayang ke rumah, beberapa tahun lalu saat masih di sekolah. Sayangnya saat itu, esensi kemerdekaan kurang melekat di hati saya. Buat saya, lomba 17-an hanya sekedar kumpul-kumpul dengan teman sebaya di daerah rumah dan menjadi kompetitif untuk memenangkan apapun itu lomba yang kuikuti. Dan upacara bendera adalah sebuah kebiasaan yang juga terjadi setiap hari Senin di sekolah. Ada kalanya saya menitikkan airmata mengingat perjuangan para pahlawan-pahlawan kemerdekaan, tapi sudah itu saja, saya kurang menghargai nilai dari hal-hal itu karena sudah sangat biasa terjadi.

Tapi sekarang, setelah saya melihat semua itu dari kejauhan, saya lebih mengerti rasanya cinta akan sesuatu. Sesuatu yang bukan materi, sesuatu yang tidak akan pernah kita miliki. Melihatnya tidak hanya dari kekurangannya, tapi juga dari kelebihan. Banyak hal yang Indonesia miliki yang nggak dimiliki oleh negara-negara lain. Sikap kekeluargaan, guyub, dan loyalitas (pada level tertentu) adalah sesuatu yang sangat saya rindukan. Saya bersukur diberi kesempatan untuk melihat tanah air dari kejauhan, karena banyak hal yang tidak terlihat saat saya disana, menjadi terlihat saat saya melihatnya dari sudut pandang lain. Ironisnya, tempat saya melihat negara saya dari kejauhan adalah negara yang dulunya pernah menjajah Indonesia selama berabad-abad. Belanda mengambil banyak manfaat dan keuntungan dari Indonesia, mereka pun mengerti akan hal itu. Sering rasanya saya bangga sekali dengan hal-hal positif yang orang Belanda ketahui soal Indonesia. Senang rasanya bukan menjadi anak dari negara entah berantah, tapi dari negara kaya dengan kecantikan alamnya.

Setelah 7 tahun di Belanda, saya punya pilihan untuk menukar pasporku dengan paspor merah (sebutan paspor belanda). Walaupun artinya semua akan menjadi lebih mudah, bepergian ke negara-negara bervisa tidak menjadi sebuah halangan yang berarti untuk traveller seperti saya, tapi saya memilih tidak. Buat saya, menjadi warga negara Indonesia adalah hak istimewa yang saya punya dan tidak akan saya tukar dengan apapun.

Saya bersyukur karena saya masih mengenal kata PULANG….

17 Agustus kemarin, saya merayakannya tanpa perlombaan ataupun upacara, tapi dengan diam, khidmat, sendiri, dan berbatik ke kantor 🙂

 


 batik-merdeka-indonesian-in-holland-independence-day

batik-merdeka-indonesian-in-holland-independence-day-2

Life Love life Thoughts Wedding Series

Wedding Series part 6 – Arranged marriage?

24th April 2016 - 4 min read

Pengen deh ngebahas soal gimana anehnya temen-temen bule saya nangkep cerita soal rencana saya menikah di usia yang bagi mereka masih sangat muda dan apalagi dengan waktu pacaran yang singkat. Dua kolega saya (yang terhitung dekat) tiba-tiba nanya dengan rasa ingin tahunya, “is it arranged marriage?”. Mereka tahu saya akan menikah nggak lama setelah saya dan Damar ketemu kembali semenjak pertemuan pertama kita 3-4 tahun lalu. Kita nggak pernah menjadi temen atau hangout bareng di antara pertemuan pertama kami dan pertemuan kembali kami setahun lalu. Yang jadi pertanyaan mereka, kenapa saya bisa begitu yakin untuk menikah padahal kita nggak pernah tinggal bareng dll. Saya sudah siap dengan pertanyaan macam ini, karena setelah pengumuman pernikahan, pertanyaan selanjutnya adalah ‘berapa lama kalian pacaran?”, pertanyaan yang menyisakan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

Untuk orang barat, wedding/get married itu sekedar formalitas dan bukti kertas agar kedua pasangan memiliki hak adil yang diatur di perundang-undangan pemerintah. Tentunya orang barat yang saya maksud adalah orang-orang barat yang tidak mempercayai agama, ya. Karena bagi mereka pernikahan itu adalah hal kesekian, maka mengenal pasangan dalam jangka waktu yang lama menjadi pokok yang harus dilalui. Nggak jarang juga mereka menikah saat sudah memiliki anak. Dan saya sangat menghormati keputusan mereka ini. Mereka lebih tau yang mereka butuhkan dan prioritas dalam hidupnya, yang penting mereka bahagia.

Mengenal pasangan disini sama artinya dengan tinggal bersama. Saya dan Damar tidak tinggal bersama dan tidak berencana untuk tinggal bersama sebelum menikah, alasan agama/kepercayaan yang kami anut adalah satu hal, tapi hal lain adalah kami ingin menjaga sparks dan kejutan-kejutan baru yang bisa kami temukan setelah menjadi pasangan suami istri. Walaupun begitu, saya percaya mengenal dan berada di satu tempat selama beberapa hari adalah penting untuk manajemen ekspektasi setelah pernikahan (paling nggak selama 1-2 minggu, karena mereka mau nggak mau akan menjadi dirinya sendiri di waktu sepanjang itu). Kami berdua plus kakak adeknya dia ke Iceland bulan Februari lalu, disitu saya mengenal dia lebih jauh, gimana cara dia handle stress, gimana leadership skill-nya dia, gimana rajinnya dia beribadah (poin penting nih, karena saya masih suka telat dan kelewatan heheh it is a huge deal concerning he has been living abroad where islam is mega minority, but he always comes back to his rug). Kami berdua menghabiskan waktu bersama dengan jadi diri sendiri (karena, capek kan berpura-pura selama seminggu), disitu saya semakin tahu kalau kita punya cara berpikir dan pandangan yang sama dalam banyak hal terutama dalam mengatasi masalah. Well, sebenarnya dia much better problem solver karena pembawaannya yang jauh lebih tenang dari saya. Saya udah persiapan dari awal, kalau di suatu perjalanan fraksi yang timbul adalah normal, akan ada waktu dimana mood akan berubah, tapi it went very smoothly untuk kami alhamdulillah. Saya merasa semakin yakin 🙂 🙂 Jadi pengenalan yang bukan cuma ngedate-ngedate aja itu penting bagi saya, walaupun gak sampai harus tinggal bareng.

Saya somewhat pengen ngejelasin dan bikin temen-temenku aware bahwa kami nggak berpikiran setradisional itu. Saya sendiri malah nggak percaya dengan blunt arranged married. Tapi disisi lain, saya juga malas menjelaskan panjang lebar. So ‘is it arranged married?’, I smiled and answered ‘no, we chose each other and he’s the man of my dream. When you know, you know. And we both know what we want, including choosing life partner. And when I find that kind of person, I just cannot wait to live and start the life together’…. 

Europe Hidup di Belanda Life Netherlands Thoughts

Dutch – Indo Cross Culture

21st December 2015 - 10 min read

Setelah resmi keluar dari pekerjaan, aku punya waktu 2 minggu untuk berlibur sebelum mulai bekerja di TOMS. Aku memutuskan untuk nggak berlibur ke luar negeri, mengingat bulan Februari aku berencana untuk berlibur musim dingin untuk mencari Aurora di Islandia, jadi sekarang waktunya untuk menabung karena katanya Islandia itu mahal banget. Dan juga, di pekerjaan  baruku, bulan Januari nanti, ada beberapah hal yang aku harus pelajari untuk menunjukan performa maksimal hihi maklum anak baru. Selain itu juga, aku sedang dalam proses mendapatkan permanen residen di Belanda. Dan step yang harus aku ambil adalah mengambil tes Inburgeren (Bahasa Belanda). Tesku dijadualkan tanggal 8 Januari, jadilah aku harus mempersiapkan tes yang jumlahnya 6 itu.

Jadi ceritanya kemarin aku lagi latihan di website inburgeren.nl. Dan banyak menemukan pertanyaan tentang perbedaan kultur Belanda dan negara asalku. Asik juga kayanya nulis diblog tentang ini.. Terutama buat orang-orang yang berencana tinggal sementara, sekolah atau menetap lama di Belanda. Ini bisa jadi persiapan dan antisipasi untuk cross cultural barrier.

Jadi menurut kesimpulan aku yang sudah beberapa tahun tinggal di Belanda, berikut adalah perbedaan paling menonjol dari kultur budaya Indonesia dan Belanda:

1. Belanda itu tepat waktu. Indonesia suka telat

Indonesia terbiasa dengan orang-orang yang nggak menjaga janjinya. Telat itu adalah sesuatu yang lumrah. Saat sesuatu dianggap normal, maka pada saat itulah perkembangan kultur baru akan melejit. Semua orang akan berpikir, kalau semua telat, kenapa kita harus ontime? Orang jadi meremehkan arti waktu dan jadi memiliki asumsi tertentu kalau acaranya pasti telat, pasti molor dsb. Aku pun juga begitu, karena kalau semua orang terlambat, acaranya pasti molor, dan kalau kita nggak ikut acara sampai selesai, kitu juga ikut rugi. Serba salah yah.. Yang jelas kalau disini, orang sangat menghargai waktu dan semua terencana dengan baik. Aku tidak menyalahkan, mungkin banyak faktor eksternal di Indonesia yang membuat terlambat, seperti macet atau tidak adanya jadwal transportasi publik yang jelas, jadi pada akhirnya semua orang menghadapi masalah yang sama. Sedangkan disini, semuanya tersedia online dan memungkinkan untuk merencakan perjalanan. Mungkin saat Indonesia sudah memiliki ini semua, mentalitas soal waktu juga bisa ikut dibenahi. Mudah2an… Tapi tetep, menurut aku telat itu adalah pilihan, bukan alasan.

2. Belanda itu direct. Indonesia suka ngalor ngidul dan pemalu

Dulu saat pertama kali aku sampai di Belanda, teman satu grup pernah konfrontasi soal kecewanya dia saat aku nggak membela dia di suatu grup diskusi. Saat itu kelihatan dari mimik mukanya kalau dia marah banget. Tapi setelah itu dia baik lagi, mengajak makan bersama di kantin. Aku kaget karena nggak biasa menerima konfrontasi langsung. Bingung harus ngapain. Tapi karena dia santai, aku pun juga santai. Di Belanda, orang akan menyatakan maksudnya pada saat itu juga. Iya iya, enggak enggak. Kalau nggak suka mereka akan bilang, begitupun sebaliknya. Tapi yang aku suka dari mereka, direct-nya mereka nggak menyebabkan fraksi di hubungan profesional atau pertemanan. Nggak ada yang taken personally.. Positifnya dari kebiasaan ini adalah, aku jadi tau secara jelas maunya apa dan harus ekspektasi seperti apa. Juga, aku jadi nggak usah bingung dengan hipokrasi, karena saat mereka bilang A, maksud mereka adalah A, bukan ABCDE…. Saat mereka bilang mau membantu, mereka akan mengerahkan segenap jiwanya untuk membantu. Bukan menawar-nawari dengan setengah hati berharap tawaran bantuannya ditolak, hanya karena menawari adalah hal yang benar haha pengalaman pribadi.

 3. Di Belanda, semua orang punya hak dan diperlakukan dengan sama. Di Indonesia, tergantung bawaannya apa

Mau kamu naik mobil, naik sepeda, naik angkot, dll, semua akan diperlakukan sama. Nggak banyak yang namanya kesenjangan sosial disini. Jadi jarang tuh ada orang pamer setelah dia beli tas Hermes atau mobil Lamborghini. Kalaupun mereka punya, mereka akan biasa saja, karena pertemanan atau pemberian servis di toko atau mall tidak didasari dari bagaimana orang berpenampilan dan dari status seseorang tersebut.

4. Di Belanda, cara hidup mereka sangat individual. Di Indonesia, sangat berbasis kekeluargaan dan gotong royong

Orang Asia khususnya indonesia, suka banget sama yang namanya kumpul-kumpul, arisan, makan-makan. Saat kamu tinggal di suatu perumahan di Indonesia, kamu akan mengenal tetangga sekitarmu dan mereka akan dengan senang hati menerima kamu. Itu adalah salah satunya pilihan yang bisa dilakukan dan juga the right thing to do. Di Belanda, mereka punya pilihan untuk terbuka atau tidak. Di Indonesia, saat terjadi sesuatu dengan kita, kita merasa tenang karena orang-orang disekiling sangat ramah dan mengenal kita. Sedangkan di Belanda, orang-orangnya cenderung tertutup dan hanya akan terbuka dengan teman yang sudah dikenalnya lama. Disini kita harus sedikit berhati-hati, karena orang Indonesia cenderung banyak omong dan juga suka berkomentar. Orang-orang bule tidak terlalu mengapresiasi hal ini, apalagi kalau belum dekat.

5. Di Belanda orang-orangnya perhitungan. Di Indonesia sangat royal.

Orang Indonesia menganut faham banyak memberi banyak rejeki. Hal ini juga diajarkan di agama. Sedangkan di Belanda, planning adalah everything, mereka tidak biasa mengeluarkan sesuatu yang tidak terplanning atau untuk sesuatu yang hukumnya nggak wajib. Saat kamu diundang oleh orang Belanda di suatu acara, jangan lupa makan dulu dari rumah, karena mereka biasanya tidak menjamu tamunya dengan makanan. Hanya minuman dan snack ringan. Ada cerita lucu dari kakakku yang diundang ke pernikahan temannya orang Belanda. Untuk kita, pernikahan adalah ajang makan makanan-makanan enak dan gratis. Jadilah, dia berangkat dengan perut kosong. Eh ternyata, di acara pernikahan itu tidak sedikitpun makanan disuguhkan. Hanya minuman keras, soft drink air putih, juga cheese dan olive. HAHAHAH Dan itu saat musim dingin, jadi dia pulang kedinginan dengan perut kosong. Akhirnya besoknya dia masuk angin.

6. Di Belanda, acara ulang tahun, adalah acara untuk menyelamati semua orang dan duduk melingkar. Di Indonesia, acara ulang tahun adalah untuk menjamu tamu undangan 

Saat diundang di acara ulang tahun orang Belanda di rumah, kamu harus masuk dan menyelamati semua orang yang ada di rumah itu dengan ucapan ‘gefeliciteerd’.  Ini adalah tradisi Belanda. Di dalam rumah akan tersedia kursi-kursi melingkar, minuman, dan juga kacang atau chips. Setelah itu disambut dengan obrolan-obrolan, kemudian pamit pulang. Bosen yah? Sedangkan di Indonesia sebaliknya banget. Ah yaaa, dan di Indonesia saat kamu mengundang orang ke acara ulang tahunmu di luar rumah, maka yang bertanggung jawab membayar adalah orang yang mengundang. Di Belanda, orang yang mengundang atau ulang tahun-lah yang harusnya ditraktir. Lucu ya…

7. Di Belanda, kamu bisa berteman dan hang out bareng dengan bos. Bisa ngomong apa aja ke dia. Di Indonesia boro-boro…

Di Belanda, kamu bisa panggil guru atau bos kamu dengan nama depan mereka. Berpengalaman kerja di Belanda, membuat aku jadi mengerti bahwa hierarki itu hanya struktur organisasi yang nggak membuat kita nggak bisa berteman dengan bos kita. Mereka bukan orang yang suka dipuja-puja, hal yang berkebalikan sekali di Indonesia.

8. Planning is everything, agenda di tangan. Indonesia angin-anginan

Semua orang disini punya agenda di tangan. Jaman sekarang sudah pake ponsel yaaa, jadi nggak perlu buku lagi. Orang Belanda sangat menghargai waktu, jadi mereka membuat rencana hari-harinya dengan baik. Itulah mengapa mereka selalu menepati janji, karena waktu mereka terencana dan dibukukan. Jadi saat mereka membuat janji dengan seseorang, mereka akan cross check dulu dengan agendanya dan tidak ada yang namanya membatalkan di hari yang sama atau 1 jam sebelum ketemu. Jangan kaget kalau buat janji dengan orang Belanda, biasanya mereka sudah memiliki jadwal sebulan atau dua bulan ke depan. Dari sisi ini, aku suka banget, karena aku dasarnya emang perencana, jadi hal ini aku adopsi dengan cukup baik.

9. Di Belanda gift giving bisa menciptakan ketidaknyamanan, di Indonesia gift giving sangat lumrah

Ini terkait lagi dengan orang-orang Indonesia yang suka memberi dan loyal. Dengan atau tanpa tendensi, orang Indonesia suka sekali memberi dan membuat orang lain senang. Seperti contohnya oleh-oleh souvenir yang harus dibawa saat pergi jalan-jalan. Seperti mamaku, semua orang di kompleks harus dapet. Satu sisi, memberi adalah habit yang baik selama itu tidak merepotkanmu sendiri. Lain halnya dengan orang Belanda, aku pernah cuma ngasih teh 1 kotak ke salah satu kolega karena aku tau teh itu baik buat dia yang susah tidur. Dengan sopan dia bilang, terima kasih sekali tapi lain kali jangan membelikan dia apa-apa, karena itu membuat dia nggak nyaman.  Uhmm okayyyy.. Orang Belanda akan merasa harus membalas budi jika menerima sesuatu dari orang lain tanpa occasion tertentu (ulang tahun, dll)

Seru banget sih punya pengalaman hidup di 2 negara yang bertolak belakang tapi juga punya banyak keterkaitan. Pikiran aku jadi lebih terbuka dan nggak gampang menghakimi. Dunia ituu kaya bangettt.. Akan sangat baik, jika kita bisa eksplor dan meninggalkan hati di beberapa tempatnya.

 

Netherlands Thoughts

Setidaknya untuk aku

13th December 2015 - 5 min read

Musim dingin datang lagi perlahan menapaki bumi Eropa. Temperatur mulai menunjukan ketidakramahannya. Membuat orang disekeliling tidak lagi bisa meninggalkan rumah tanpa perlengkapan yang cukup. Tidak terasa, ini sudah menjadi musim dingin keenam-ku disini. Banyak hal yang aku lalui dengan latar belakang musim yang berganti. Caraku mereferensi waktu pun sudah tidak sama lagi. Dulu aku selalu menyebut bulan sebagai acuan waktu, aku mulai bekerja di bulan Februari, tapi sekarang aku lebih suka menyebutkan musim, aku pergi ke Indonesia di musim panas lalu.. Entah kenapa, itu membuat arti sedikit berbeda. Membuat memori waktu menjadi lebih spesial. Setidaknya untuk aku.

Belanda membentukku menjadi pribadi yang berbeda, pribadi yang terbuka dan menerima. Tidak ada pandangan aneh terhadap orang yang memutuskan untuk melakoni hidupnya melewati jalan lain, bukan jalanan umum. Itu yang aku suka dan akan aku rindukan suatu saat nanti. Dengan tidak ada ruang dan batas, kreativitas pun melega. Tidak ada label agama.. Semuanya sama, satu, dan semua berhak memiliki hidup yang sejahtera. Ekonomi dan infrastruktur yang baik membuat indeks kebahagiaan meningkat, tapi lagi-lagi, setidaknya untuk aku. Aku merasakan hidup di dua tempat, negara yang miskin dengan rakyat bahagia bernuansa kekeluargaan dan juga negara yang kaya dengan penduduk yang individualis bahkan cenderung kurang bahagia. Aku bersyukur diberi kesempatan untuk bisa mengeksplor keduanya, mengambil sari-sari baik yang bisa kuterapkan di hidupku… dan juga keluargaku nanti.

Enam tahun lalu, di bulan ulang tahunku, bulan Agustus 2009, aku menginjakkan kakiku di negara kincir angin ini. Perempuan muda yang belum 18 tahun harus melihat sekeliling dengan pandangan kosong, tanpa ekspektasi. Terlalu sulit buatku untuk menghadapi perubahan yang terlalu drastis. Aku tidak berekspektasi bukan karena aku sudah cukup dewasa untuk mengerti arti dan ruginya sebuah harapan, tapi karena aku terlalu naif untuk bergumul dengan lingkungan dan hal baru. Aku merasa cara hidupku selama ini adalah benar. Aku terlalu nyaman. Tapi arti nyaman selalu bias, nyamanku bukan berarti nyaman orang lain. Setidaknya itu untuk aku.

Itulah aku enam tahun lalu, tidak bercita-cita, tidak berharap, hidup hanya melewati arus.. Setelah beberapa tahun, aku baru sadar, pandangan dan cara berpikir itu terbentuk saat kita terbuka, mau berpikir, tidak hanya melihat tapi juga mendengar. Menggunakan panca indera sebaik-baiknya. Beruntunglah aku, masih remaja, masih bisa tumbuh dan berubah. Beruntunglah aku memiliki keluarga yang menuntun jalanku ke arah yang lebih baik. Aku perlu melihat dunia lain. Orang tuaku tahu, kakak-kakakku tahu, tapi aku tidak. Itulah yang aku butuhkan. Mereka menuntun, bukan menuntut.. Mereka memberikanku ruang untuk berpikir dan menentukan sendiri jalan hidupku.

Butuh waktu sekitar 6 bulan untuk aku mencerna apa yang terjadi dan beradaptasi sepenuhnya dengan perbedaan yang ada, pemahaman bahasa, musim yang jauh bertentangan dengan Indonesia, selisih waktu yang terjadi, dan sebagainya. Sampai akhirnya aku sadar, semua hal yang aku sebutkan itu adalah kelebihan dan hak istimewa yang tidak bisa didapatkan semua orang. Setidaknya untuk aku, aku bisa perlahan-lahan menikmati makna yang dikandung dari perbedaan. Makna yang dikandung dari perubahan. Dunia itu kaya, maka apalah aku. Semakin banyak aku tahu, semakin aku kecil rasanya. Semakin ingin tahu makna banyak hal yang tidak aku ketahui. Sesungguhnya, sekolah paling efisien adalah hidup, dan guru terbaik adalah pengalaman. Setidaknya untuk aku..

Enam tahun lamanya aku membentuk pribadiku. Ketidak mudahan hidup membentuk pribadiku ke arah yang lebih solid. Pribadi yang pantang menyerah. Aku percaya pada diriku sendiri bahwa apapun akan mungkin jika kita berusaha keras. Setidaknya itu untuk aku. Enam tahun berjalan cepat, aku menikmatinya, aku berjalan menoleh kebelakang dan melihat seberapa jauh aku berkembang. Jalanan ke belakang itu tidak terlihat, memaksaku untuk mengingat-ngingat, bukan kembali menyusurinya. Aku melihat, mendengar dan berpikir, maka terbentuklah aku. Setidaknya itu untuk aku.

Apa yang aku lakukan dan aku pikirkan sekarang, aku anggap benar. Tapi sebatas aku..
Kamu? Berpikirlah, setidaknya untuk kamu… dan bisa jadi itu juga benar.

Life Milestone Thoughts

Meet him…..

6th December 2015 - 4 min read

“We are a little weird and life’s a little weird, and when we find someone whose weirdness is compatible with ours, we join up with them and fall in mutual weirdness and call it love” Robert Fulghum

Tonight, I look at my North Sea Jazz picture in which, I remember, was the first time we were ever together in a frame. Not only that, but also the first time I had ever talked to him continuously for an hour train ride prior to the concert. I was about to travel to Rotterdam by myself, until he asked ‘why not travel together?’. I was checkmated.

There we were on the train sitting face to face enthusiastically talking about life, somehow. I enjoyed every second with him very much, felt brightened and somehow felt really safe. As we went along, I realize we were never that close but the gestures somehow had been there. Little did I know, he had the eyes on me the entire time ever since the first sight.

My memory flew back to the years of 2012 in an old little house in Amsterdam where I stayed for a couple of months during my internship, I met this guy who happened to be my housemate’s younger brother. I did not count it as something memorable at all until the past few months when I found out that he remembered every little details of our first meeting, about what the conversation was, what clothes I was wearing, what kind of questions I asked him, etc. Who knows, that very night, he promised to himself to get to know me.

He was fulfilling his promise. Before the whole North Sea Jazz thing, he came to me again after 3 years, asking if I was up to see an orchestra Brahm A German Requiem, To Words of the Holy Scriptures, the longest Brahm play. I said yes to it in which I never regret I did. It was right to the target, as if everything was planned. I would have said no if he asked me to go watch movies or had dinner or anything aside jazz/orchestra concert. I always wanted to go to a live classic concert, yet I had never felt right to visit the music building by myself nor had proper company to go with. I think the universe was preparing someone to accompany me and also the other way around. Someone whom I would feel comfortable to share my interest with.

Who knows it was the start of us getting to know each other?

On the train, I secretly observed and took some fix conclusions: He is a doer, not a talker; both a dreamer and a realist; he is a thinker, not a blind believer. A lot of things about him I can so much relate to.

 

To be continued

Meet him part 2

Meet him part 3

 

Picture is courtsey of Lurik Photography

Thoughts

Percakapan siang ini

2nd December 2015 - 6 min read

Banyak banget hal yang aku dapetin dari berteman dengan berbagai macam karakter dan latar belakang manusia, mulai dari segi umur, pengalaman, pendidikan dan sebagainya. Kali ini aku lagi dibuat berpikir sama Wulan, my one and only soul sister. Sudah beberapa bulan ini, dia bawaanya sedih melulu. Kesedihan dia itu karena kurangnya waktu yang bisa dia dapetin untuk ber-quality time dengan dirinya sendiri dan juga untuk mengejar mimpi-mimpinya. Perlu dicatet, Wulan itu seorang istri, tinggal di London dan punya 2 putri yang cantik dan pinter. Untuk bisa bertahan hidup sejahtera di luar negeri, kemandirian adalah kunci. Setahun yang lalu, dia melahirkan anak keduanya dan setelah melahirkan dia suka cerita bahwa dia lagi nggak bahagia dengan dirinya. Bukan dengan hidupnya, tapi dengan dirinya. Katanya, dia merasa nggak produktif dan nggak bisa jadi Wulan yang sesungguhnya karena role dia sebagai seorang istri dan ibu, tentunya waktu jadi sangat sempit setiap harinya karena perhatian yang tersita ke putri-putri cantiknya. Awalnya perasaan dia adalah simply nggak happy. Emang nggak mudah mendefinisikan sebab musabab dari perasaan yang timbul dalam diri kita. Tapi perlahan-lahan dia mulai paham.

Wulan adalah perempuan tangguh dan hebat. Dia punya mimpi-mimpi besar yang pengen banget dicapai, tapi sayangnya beberapa mimpi terbesarnya belum sempat terealisasi. Aku selalu bilang, mimpi adalah janji kepada diri sendiri, jadi aku paham betul perasaan nggak fulfilled yang mengganggu dia. Dia ngerasa energi dan potensi dirinya nggak tersalurkan, sedangkan keinginan itu terlalu membuncah di dada. Waktunya tersita oleh pekerjaan ibu rumah tangga dan mengurus anak-anak cantiknya yang masih kecil. Pikiranku jadi melintas di masa depan, bagaimana aku harus menghadapi ambisi diri yang belum terpenuhi ketika aku nanti berkeluarga. Jalannya masih panjang, tapi aku percaya, Planning is everything.

Begini dia bilang:

W: To me, the worst thing was the feeling of isolation and that I didn’t have interaction with other people. I was mostly a mom and wife, but never myself. Nothing wrong of course with being a mom and wife, but I also needed to do things for myself and meet people to be stimulated.**

W: I share this to you because I know you are going to love your role as a mom later when you are blessed with kids. Yet if you feel depressed or something like what I have experienced lately, don’t be hard to yourself. You need to find your way to be Muriel, the one who makes you feel comfortable and happy. Muriel as a person.

W: Things are not that simple when it comes to a marriage with kids. There will be sacrifices. Things will changed. You cannot neglect the responsibilities you carry with all the roles you are blessed with. Yet you still have to stay being yourself. I hope you can learn something from my experience.

Dari segala perasaan ngalor ngidul yang dirasa apapun itu, dia selalu mengambil sebuah kesimpulan positif yang pada akhirnya member afirmasi positif ke diri dia. Oh how I just love positive-minded people. Dia sekarang jadi semangat banget, berapi-api untuk ngedapetin mimpinya. Aku yakin hasilnya akan sangat-sangat jauh lebih hebat, karena dia nggak cuma satu individu. Tapi banyak, karena dia juga istri dan ibu 🙂 My powerful mantra is, anything is possible and what you want you become. Especially with her, I see a great possibility. I have a big faith about it! Laksana Bulan, hadirnya  menerangi orang-orang disekitar dia. This one is another piece of quotes from her, which I really like, in regards to the subject.

“Tanpa itu semua terjadi, aku tidak akan terpaksa untuk bergerak, memulai langkahku.. Berubah memang tidak mudah. Tapi aku akan. Karena hasrat untuk menggapai mimpi itu tidak padam, apinya malah semakin menggelora. Dan aku bersyukur karena pengalaman ini kembali mengingatkanku untuk mencekram bumi dengan lebih kuat, mengakar. Karena aku ingin bagitu aku sampai dipuncak, aku tidak lupa asalku.” – WULAN

Dan itulah, aku jadi keinget pernah ngebaca satu post temen inspiratif di facebook. Sesuatu yang aku benar-benar cerna, ingat dan terapkan dari sekarang supaya nggak perlu ngalamin kegalauan yang Wulan rasain.

Sebelum aku memenuhi tugasku pada keluarga dan anak-anak, aku punya tugas yang lebih penting: tugas kepada diriku sendiri!”

Aku sering membayangkan, jika suatu saat aku menikah, aku akan melepaskan perlahan-lahan karir yang aku bangun, dan beralih fokus pada “pekerjaan” yang mendukung anak-anak dan suamiku. Maka suamiku, kepala keluargaku kelak harus punya mimpi yang besar. Bahtera mimpi yang cukup besar untuk menampung cita-cita kami berdua.

Jika aku harus “mengorbankan” mimpi pribadi yang kubangun sebelum menikah, maka mimpi kami bersama haruslah lebih besar dari mimpi pribadiku. Maka kami bisa menyatukan kekuatan kami dan berfokus bersama-sama untuk mewujudkan hal tersebut. Dan di tengah jalan aku tidak akan menyerah dan beralasan “andai aku mengejar mimpi pribadiku”.

Dan sebelum itu, aku mesti memastikan, bahwa aku pun “sudah selesai dengan diriku sendiri.”

I am very blessed to be able to open my eyes wildly and see these other people’s experience where I can learn from. The best school is indeed life.. The best lesson is from other people 🙂 Enak yaaahh bisa belajar dari orang lain. Aku pun nulis blog ini supaya aku tetep inget dengan hal-hal yang aku pelajari setiap harinya, syukur-syukur kalau bisa jadi inspirasi.

 

Thank you Wulan. Love love….

**Quoted from her friend

Love life Quotes Thoughts

Love is a form of nurture part 2

21st November 2015 - 4 min read

What do I know about love? I was wondering myself about it months ago after my breakup. I am not an expert, but I have a certain principle about it. A principle I have acquired from my failed relationships throughout my life so far.

All teenagers are stubborn and unstable. It is part of the journey to discover the true self and which direction we/they want to go. Some people succeeded in starting relationship in their early age, it could last long until marriage and so on. They are the people who have a big portion of compromising skill, usually they are quiet and calm people. I was certainly not that kind of person, I failed many times, going to one relationship to another (as Cansu, my turkish friend, said being a monkey that is moving from one tree to anothers). But that’s part of me finding who I am and what kind of person is compatible with me. I don’t think it’s a waste of time, as long as I consciously walk and not get carried over by what is so called a sense of belonging as it leads to attachment. Attachment and getting too comfortable is very dangerous in the young age, in which I notice as time goes by. Most of the times I failed in a relationship is because we both stopped trying, and I stopped trying just because I was dissapointed many times.

Love ends when one of them or both of them stop trying.

Often people say that we need to love our couple just the way they are as well as the other way around. I used to believe in that and that occurs to me so many times in which in the tip of the relationship one of us take the other half for granted. The tendency after that is that we will stop trying.. Because we feel secure that he/she would not leave us, it is just too comfortable. I read an Indonesian book “Sabtu Bersama Bapak” (Saturday with dad), which I adore the messages it tries to deliver. It somewhat articulate what I have been thinking, and it was also in one of many conversations I have had with Damar.

Indonesian version:

“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan untuk saling mengisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masin orang. Bukan tanggung jawab orang lain”

English version:

“Establishing a relationship needs two solid and equally strong being, not merely mutually to fill in weaknesses. Because being strong is the responsibility of each person. Not someone else’s”

Damar once said, “I do not agree that someone wants to be with me because she needs me“. He also said “It’s each other’s responsibility to keep your other half keeps falling in love with you“. It’s an ongoing and non-stop effort. We need to try, willingly and sincerely. When you unwillingly do something only due to necessity and change you to someone you are not, that is not a good signal…

Love life Quotes Thoughts

Love is a form of nurture 1

21st October 2015 - 7 min read

In a brief conversation, a man asked a woman he was pursuing the question: ‘What kind of man are you looking for?’
She sat quietly for a moment before looking him in the eye & asking, ‘Do you really want to know?’ Reluctantly, he said, ‘Yes.’
She began to expound, ‘As a woman in this day & age, I am in a position to ask a man what can you do for me that I can’t do for myself? I pay my own bills. I take care of my household without the help of any man… or woman for that matter. I am in the position to ask, ‘What can you bring to the table?’ The man looked at her. Clearly he thought that she was referring to money. She quickly corrected his thought & stated, ‘I am not referring to money. I need something more. I need a man who is striving for excellence in every aspect of life.
He sat back in his chair, folded his arms, & asked her to explain. She said, ‘I need someone who is striving for excellence mentally because I need conversation & mental stimulation. I don’t need a simple-minded man. I need someone who is striving for excellence spiritually because I don’t need to be unequally yoked…believers mixed with unbelievers is a recipe for disaster. I need a man who is striving for excellence financially because I don’t need a financial burden. I need someone who is sensitive enough to understand what I go through as a woman, but strong enough to keep me grounded. I need someone who has integrity in dealing with relationships. Lies and game-playing are not my idea of a strong man. I need a man who is family-oriented. One who can be the leader, priest and provider to the lives entrusted to him by God.
I need someone whom I can respect. In order to be submissive, I must respect him. I cannot be submissive to a man who isn’t taking care of his business. I have no problem being submissive…he just has to be worthy.
And by the way, I am not looking for him…He will find me. He will recognize himself in me. He may not be able to explain the connection, but he will always be drawn to me. God made woman to be a help-mate for man. I can’t help a man if he can’t help himself.
When she finished her spiel, she looked at him. He sat there with a puzzled look on his face. He said, ‘You are asking a lot. She replied, “I’m worth a lot”.

The above story is clearly speaking out my mind. After the 3-years relationship separation, I wondered how could I feel he was the one when he was certainly not. I wondered a lot about love. The existence of it..

Finally, I came to a ramble conclusion.
I am a lover. Someone whom hungers for love and whom loves being loved. I’d rather be broken hearted than not expressing the love I have in me. With this feeling, I’ve never did it partially. When I love, I love fully.. And so how it was with my ex(es). I loved and I (thought) I was sure about my feeling.

Apparently, heart and brain are often not aligned. Looking back, I might unconsciously unsure within the relationship, about me and him as a couple. But it seems like I ignored too many red flags until I finally realized. Why was that? Because I held full accountable of my decision to be with them and I wanted to prove my self that I took the right decision to be with him. That’s part of my personality. Devotion…
However, no matter how hard I justified myself about the relationship, the answer from Him at the end was still a ‘no’. It mainly was caused by too many differences. In spite of me being very flexible, I had to compromise, a lot of compromising, a compromise up to the point that I feel I am not being myself anymore. Until I read the above article, I’ve never realized that I had never recognized myself in them. I’ve never felt to not to worry about a thing when I was with them.

I started with love and getting to know them. I naively believe that falling in love is passive and spontaneous. I was wrong. It is much more than that. The euphoria of love fades in a couple of years being together. The key to succeeding in a relationship is not finding the right person, it is learning to love the person I find. I don’t need love to be the reason with someone. Love is an active word, a form of nurture. When I feel I could team up with someone, that I recognize myself in him, the love would certainly come along and can easily be nurtured in deepening it.

I value myself too much that makes me selective on how to make a choice for my future life partner. How I choose him depicts how I value myself. I don’t want to settle for less. And nobody should. I need to be with someone who can keep up with me, whom I can look up to and have qualities to enable me showing respect. That man needs to have extraordinary dreams, dreams that can somehow be incorporated with mine. Dreams that can make me make a peace with mine. Someone who loves and able to take care of themselves well. I need a doer. Not because I need them in my life to fulfill my needs, but I need them to match with mine so we can go along side by side together until we reach our goals, together.

Then I can fall in love. Then I can nurture the love continuously.

If you’re young or in your early twenties, focus on shaping your personalities and qualities. It is a manifestation for good choices and a good life in the future..

 

To be continued..

 

Love life Quotes Thoughts

The sound of a broken-hearted being

26th July 2015 - 6 min read

Kutipan Peluk (Dewi Lestari dan Aqi)
“… Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatikum pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.”

Menahun, ku tunggu kata-kata Yang merangkum semua 
Dan kini ku harap ku dimengerti 
Walau sekali saja pelukku
Tiada yang tersembunyi 
Tak perlu mengingkari 
Rasa sakitmu
Rasa sakitku
Tiada lagi alasan
Inilah kejujuran
Pedih adanya 
Namun ini jawabnya
Lepaskanku segenap jiwamu 
Tanpa harus ku berdusta 
Karena kaulah satu yang kusayang
Dan tak layak kau didera
Sadari diriku pun kan sendiri 
Di dini hari yang sepi 
Tetapi apalah arti bersama, berdua 
Namun semu semata
Tiada yang terobati
Di dalam peluk ini 
Tapi rasakan semua 
Sebelum kau kulepas selamanya
Tak juga kupaksakan 
Setitik pengertian 
Bahwa ini adanya 
Cinta yang tak lagi sama
Lepaskanku segenap jiwamu 
Tanpa harus ku berdusta 
Karena kaulah satu yang kusayang 
Dan tak layak kau didera
Dan kini ku berharap ku dimengerti 
Walau sekali saja pelukku

Is love existing??
Now come to think about it, I can’t say if I have ever really loved someone. I had always jumped into one relationship to another, bringing relationship to another level.

When I was in that very moment, I thought I was deeply in love, heart was stolen and eventually taken. But It was not bluntly nor impromptu, there were always factors that support my decision to be their girlfriends at the time. I considered values and things in which I judged could be compatible to me (and often thinking about my family too). But then, after 2-3 years the feeling just faded away.. gone…

Not long after that, there came another men, heart was taken again and I thought I could not live without him. But, at the end that relationship once more faded away and gone………..
Why could it fade when the ultimate love should be staying and eternal?

I think I just did not understand what love is.  
If I did not understand then, what makes me understand now?

Does love exist when you always think about what benefit you could take from them? What value you could share together? Those things should not matter after all when it comes to love, no? At least, that’s how the spread theory that I understood.
I personally don’t think those matter so much from the definition theory of love. Love should be unconditional.

Freud so frequently attributed human nature to unconscious desires, his theory of love centered around the need for an “ego ideal”. His definition of an ego ideal is this: the image of the person that one wants to become, which is patterned after those whom one holds with great respect.
I think he is somewhat true. Although I don’t really agree in the part of ‘the person that one wants to become’, it’s more likely something that you will recognize about you in other people, something that just easily clicks and fits altogether.. And those things you recognize and you want to see in him/her will create respect towards that person.

So when respect is gone equals with love disappearance? Why?

Does love make you stay to take care your husband when they end up in a wheel chair or a commitment you have to deal with?
Love should not lead to a sense belonging or ownership where you think you should control them in a way that you want. Nothing should own no one except love to your very self.

Love supposedly comes naturally..(?) Love supposedly eternal…….(?)
Maybe it’s existing but when it vanishes, then it should not be called love?
Norwegian Wood book says “You would buy a strawberry cake for someone, running in the rain, come back finding out he/she doesn’t want it anymore, and you’re cool with it. You don’t expect something in return”

However, love with parents is different.
We were assigned to a couple whom He chose for us.
Our love is unconditional BASED on thankfulness, a need to make them happy because they made you happy as a child and be raised.
It’s different, because it’s a family and you bond by an unbreakable relationship. No matter how you think you don’t like them, there will always be a slight love and attention. Because you have to…

With someone in the opposite gender, you can break the bond whenever you feel like. Love can vanish.. But it’s A COMMITMENT that hold you tight. Love will vanish.

Ultimate love for me now is to my self (in which I am everyday still learning) and to my God.
Maslow’s hierarchy of needs places self-actualization at the peak. He maintains that those who have reached self-actualization are capable of love.

Milestone Quotes Thoughts

Yoga journey – YOGAFEST, June 6th 2015

14th June 2015 - 5 min read

 

I have been doing yoga for more than 2 years now. It honestly still a long journey to get to a stage that I want to. There are many ups and downs, because I am not constantly practicing. The feeling always comes and goes, but I try to always surround myself with it. I still go to yoga class in my gym at least once a week. I have tried different things in sports, but what stays with me is Yoga. For me it’s an integration between mind, body, and soul. Full package of sports.

In the extent of getting things done, I am not a type of patience girl who takes the process slowly. I feel like I always want to jump to my goal in doing poses (applies to a lot more subjects). I have realized this since day one, that’s why day by day I focus on improving this weakness, to do all my activities more soulful and walk into all the processes consciously. And for yoga, the hardest part is to be careless of how good I am (compared to other people also), and once I pass that, things get easier.

I went to Yogafest in Amsterdam on June 6th, what an event!! I feel back on track, getting all the zens and positive vibes which encourage me to start working on my pose. Especially, I experienced this together with my good good positive and inspiring friends, Cansu and Aida. Nothing better than sharing this happiness with people that I care about. Feel motivated all along!!

Talking about yoga, a few weeks ago, I have a heard a sad story which is about Muslim Organization in Indonesia claiming Yoga as ‘Haram’. Although after reading more thoroughly, it’s considered  Haram only when there’s other intentions in it besides sport. I am moslem myself, but I despise anything that uses one religion as a reason, especially when it potentially breaks relationship between one religion and others even more. If I were a Hindu, it would break my heart because Yoga is pure and very good for our mind, body, and soul. Why sharing good deeds equals with pulling someone off from their religion and convert? For me, Innamal a’malu binniyat (actions are dependent upon the intentions). So I do not really take into account. I purely want to have more focus, know my body and self more, more confident, and be healthy. It actually freshen my mind after praying.

A good thought from MJ from Boys of Yoga that suddenly crossed my path “A lot of people think yoga is like a religion, but the truth is it’s as far away as you ca nget. Religion asks you to narrow your belief; Yoga asks you to open them up”. I really love those quotes.. That’s the whole reason why I do what I do.

Processed with VSCOcam with f2 preset

image2

 

image4

First time succeeded crow pose (Bakasana), then fell down in just a bout 1 sec after the picture taken, the it went for the second time below. Much better 🙂

Processed with VSCOcam with f2 preset

Processed with VSCOcam with f2 preset

Processed with VSCOcam with f2 preset