Browsing Category

Germany

Europe Germany Travel

Grand Mosque Koln

23rd July 2017 - 4 min read

Pertama kali menginjakkan kaki di Masjid ini yang ada di kepala saya adalah betapa futuristik modelnya. Dari luar terlihat kaca dimana-mana serta bentuk kubahnya yang melengkung unik dari bawah. Lengkungannya tidak seperti kubah biasanya yang warna warni terbuat dari tiles, melainkan dari konkret dengan warna minimalis dengan bangungan yang tidak lepas dari bangunan dibawahnya. Bentuknya menyerupai kapsul kalau menurut saya.. Kata beberapa orang, terlihat seperti masjinya alien haha.

Jadi ceritanya, Komunitas Turki di Koln mendirikan masjid baru ini di tahun 2007. Letaknya di sudut Venloer Straße dan Innere Kanalstraße di daerah Ehrenfeld. Bangunan ini ditandai oleh kaca-kaca yang lebar, beton dan kayu serta kubah transparannya. Masjid tersebut diapit oleh dua menara setinggi 55 meter. Selain ruang sholat, pusat komunitas akan mencakup perpustakaan, kantor administrasi dan ruang untuk kursus pelatihan dan seminar.

Pada saat masjid ini pertama kali direncanakan untuk dibangun, banyak sekali kontroversi yang terjadi hingga mulai didirikan. Biaya bangunan yang melonjak hingga warna tema dari masjid itu mendapatkan tuduhan bahwa ada simbol kirstenisasi yang tersembunyi. Arsitek Paul Bohm dan Ditib, cabang otoritas urusan agama Turki, sepakat untuk melanjutkan proyek tersebut namun menunggu intervensi dari Walikota Koln pada saat itu yang sekarang telah pensiun.

Setelah dialog yang intens, Fritz Schramma mengatakan bahwa partai-partai tersebut, yang dengan jelas dia anggap sebagai “kombatan”, telah sepakat untuk menyelesaikan proyek tersebut untuk menciptakan sebuah “masjid terbuka yang transparan”. Dia mengatakan bahwa dia berharap masjid tersebut “segera dipenuhi dengan kehidupan”. Saat ini masjid itu benar-benar sudah dipenuhi dengan kehidupan dan menjadi pioner tercampurnya banyak kultur dan agama di Kota Koln.

Jika berkesempatan atau tinggal di daerah Jerman, kalian harus mengunjungi Masjid yang dicanangkan sebagai masjid yang paling modern se-eropa ini.

Grand Mosque Koln

20170624_223638

Grand Mosque Koln

Grand Mosque Koln

Grand Mosque Koln

Grand Mosque Koln

Grand Mosque Koln

Grand Mosque Koln

Grand Mosque Koln

Cologne Central Mosque
Venloer Str. 160
D – 50823Cologne
+49 221 – 50 80 00
+49 221 – 50 800 100
http://www.zentralmoschee-koeln.de

Source:

https://www.cologne-tourism.com/attractions-culture/central-mosque.html

http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/1555604/Huge-mosque-stirs-protests-in-Cologne.html

 

Europe Events Family Germany Hidup di Belanda

Lebaran di Grand Mosque Koln, Jerman

9th July 2017 - 7 min read

Alhamdulillah, kita bisa merayakan hari kemenangan lagi tahun ini. Dan tahun ini lebih spesial karena bisa merayakan bareng dengan mama bapak. Mereka berdua datang dalam rangka berkunjung untuk Wisuda PHD mbak Fany (yang ternyata tertunda hingga November). Tapi karena tiket sudah terlanjur kebeli, mereka tetap berangkat ke Belanda.

Sudah beberapa kali belakangan ini saya menerima whatsapp broadcast group soal masjid baru di Turki yang sangat modern nan megah. Masjid ini bentuknya lain daripada yang lain dan diklaim sebagai masjid yang paling modern di Eropa. Bagaimana tidak, arsitektur dalamnya mencerminkan sisi progresif islam dan memutarbalikan anggapan bahwa islam harus melulu tradisional dan dibangun dengan kayu. Bapak dan mama were quite intrigued and so was I.

Sebenarnya perjalanan ke masjid ini sama sekali nggak terencana, tapi Bapak dan mama sudah berwacana minta untuk dibawa kesana. Saya terbuka dengan ide itu, tapi saat Bapak mengutarakan keinginan untuk sholat eid disana di H-2 lebaran saya agak kaget juga. Alasannya, karena Masjid itu bukan masjid Indonesia dan pastinya punya peraturan-nya sendiri. Apalagi saat saya buka websitenya semuanya bahasa Turki dan Jerman. Untungnya saya punya kolega Turki yang mau membantu untuk mengartikan bahkan menelponkan panitia masjid di Grand Mosque.

Ternyata di masjid Turki, sholat eid hanya wajib untuk pria, tidak bagi wanita (atau sangat jarang). Jadi pada umumnya, masjid tidak menyiapkan tempat khusus untuk shaf perempuan dan hanya memprioritaskan sholat untuk pria. Bahkan memberi kan ruang khusus wanita untuk pria-nya. Dan panitia masjid Grand Mosque pun tidak bisa menjawab saat ditanya apakah akan ada ruang khusus untuk wanita. Yang jelas, masjid akan penuh dengan pria. Terutama tahun ini adalah sholat ied pertama yang digelar di masjid ini. Kami pun tetap memutuskan untuk datang tanpa ekspektasi apa-apa dan sudah ikhlas jika memang tidak bisa sholat. Yang berbeda lagi dari masjid turki adalah sholat eid dilaksanakan pukul 6.15 pagi sedangkan masjid Indonesia di Belanda baru dilaksanakan antara pukul 09.00 hingga 10.00.

Dengan berbekal informasi itu saya dan kakak saya cepat-cepat menyewa mobil dan mencari akomodasi. Alhamdulillah semuanya dilancarkan..

Kami menyewa mobil dari snappcar dan menginap di sini. Dua-duanya super memuaskan. Untuk persewaan mobil ada hal yang perlu diketahui, Jerman adalah Green zone jadi mobil yang digunakan harus berstiker tertentu (green sticker), jika tidak bisa kena denda atau tidak boleh masuk. Tidak hanya Jerman yang menganut anti-air-pollution, tapi juga Austria dan beberapa negara bagian lain.

Kami tiba satu hari sebelum Idul Fitri dan atas usul bapak, kami sholat maghrib di Masjid Grand Mosque agar bisa menikmati kemegahannya dengan lebih puas dan tidak terburu-buru. Tanpa kami ketahui ternyata ada buka puasa yang diselenggarakan oleh panitia masjid tersebut. Kami ditarik oleh salah satu panitia masjid tersebut, wanita Turki yang baiknya masya Allah. Ah indahnya kebersamaan ini, rasanya tidak ada yang membedakan kita walaupun kita tidak mengerti bahasa masing-masing, tapi kami semua saudara. Kami merasakan sekali kehangatan di dalam ruangan makan itu. Makanannya pun enak sekali.

Keesokan paginya kami siap-siap dan ternyata Grand Mosque menyiapkan tempat untuk wanita sholat. Kecil sekali dan tidak sebanding sama sekali dengan di Indonesia atau masjid Indonesia di Belanda, namun saya dan mama bersyukur sekali bisa berkesempatan sholat Eid. Karena saking terbiasanya, jika tidak sholat Eid rasanya bulan Ramadhan dan puasa sebulan nggak afdol 😀

Ada satu perbedaan lagi yang kami temukan saat sedang sholat, mereka melaksanakan sholat dengan 5 takbir di rakaat pertama lalu alfatihah, kemudan di rakaat kedua alfatihah yang diikuti dengan takbir 3 kali. Karena saya nggak ngerti (dan nggak fokus) setelah alfatihah di rakaat kedua, bagian imam takbir, saya rukuk, kemudian berdiri lagi. Baru ‘samiallahu liman hamidah’ saat saya sedang sujud hahah. Dan anehnya orang-orang di bagian perempuan itu juga salah, yang berarti mayoritas wanita-wanita itu bukan dari Turki. Karena kebanyakan perempuan Turki tinggal di rumah dan mempersiapkan makanan untuk keluarganya.

Setelah trip ini saya bahagia karena bisa menghabiskan lebaran dengan keluarga, yang jarang sekali terjadi. Saya sampai sudah tidak ingat kapan terakhir kali saya idul fitri dengan mama bapak. Alhamdulillahh.. Selain itu saya tidak akan pernah lagi berburuk sangka akan perbedaan. Dalam hal ini, kami semua islam walaupun kami mempraktekannya berbeda, tapi bukan berarti salah. Saya ingat kata Ust Quraish Shihab soal pertanyaan mengenai bagaimana dengan Islam dan cara yang berbeda-beda. Beliau menggunakan analogi penambahan. 7+3=10, apa 5+5 bukan 10, apa 6+4 bukan 10, apa 2+8 bukan 10?

Selamat Berlebaran semuanya.. Semoga ibadah kita diterima di sisi Allah SWT dan bisa bertemu kembali dengan lebaran-lebaran berikutnya. Aamiin aamiin yarobbal alamin.

20170624_221023

20170624_222312

SONY DSC

20170625_064343

SONY DSC

SONY DSC

SONY DSC

SONY DSC

IMG_5762 IMG_5776 IMG_5798

Image result for love emoji

Dreams Europe Events Germany

Frankfurt Book Fair 2015

21st October 2015 - 6 min read

Once again, I got another opportunity to go somewhere with basically no significant efforts but had a huge impact in my life.
It’s an offer from my sister and family because they had one free seat in the car. I was a little reluctant in the beginning, but then I thought this was the biggest book fair in the world with more than 100 countries participated, and 7000 exhibitors. Especially, by the fact that Indonesia was being the guest of honor this time which (normally) will not come twice. Indonesia had to wait for 5 years to get to this position. I guess, this was meant to be for me to attend as well. I just needed to tag along in the car, and spend some bucks for the extra bed as well as some food and entrance ticket. What else could I ask for?

Frankfurt Book Fair: the world’s largest event of the publishing industry. The Frankfurt Book Fair has a tradition that spans over more than 500 years. Soon after Johannes Gutenberg had developed printing in movable letters in Mainz near Frankfurt, the first book fair was held by local booksellers. Until the end of the 17th century, it was the most important book fair in Europe. As a consequence of political and cultural developments, it was eclipsed by the Leipzig Book Fair during the Enlightenment. After World War II, the first book fair was held again in 1949 at the St. Paul’s Church. Since then, it has regained its pre-eminent position.

It turned to be a real amazing personal experience, because to be Indonesian and to be able to witness how Westerns adore the country you were born in, is definitely priceless. The sense of the pride was certainly coming in this kind of moment, in which I knew I had to cherish. All of the details of Indonesian Pavilion was done properly (huge space Indonesia got as a guest of honor), or I must say whole heartedly. Everything about it was simply marvelous, from the art installations until the performances. Not only that, but also the invited authors and contributors. They were all well-picked, all legends and again I emphasize I was super lucky to be able to meet them and admire them from close distance. Especially for the authors whom the book I read and had a relation with.

In the first day, I was strolling around and checking out some books when an architecture book was captivating me. I saw the author data, and the name was Imelda Akmal. The name was somewhat familiar, but I had never really encountered on what has she done until I opened the book and liking the concept she made in compiling the information from different architectures. The point is one, to optimize small spaces. Usually, I think thoroughly whether to purchase something. But after opening her pile of books in a section, my eyes captured one book called “Houses by Indonesian Architects”. The houses style inside the book is exactly how I visualize my future dream house. So I bought it.  I just didn’t want to not buy and regret after..
In the cashier, the woman said that the writers are somewhere around. I was looking for her to ask for photographs and autographs. She turned to be one of the influential people in architecture industry who focus in optimizing minimum space (minimalist – which fyi, I very much like the concept).  She gave me a business card and we took pictures together. I would definitely remember this time because this book would be an inspiration source of how my future house will look like.

Beside that, I also met Dewi Lestari whom the book I read and love! It’s nice to see her in person and listen to her excerpt of “Partikel”. Such an amazing and inspiring women. Being in the same room with them, with Slamet Rahardjo, Fauzi Bowo, etc give a different synergy to surroundings. Glad to experience it. I came back knowing name of authors I have never known before, and a philosophy I’ve never encountered before.

No regret at all! Caution: It’s a huge place and event, 2 days were simply not enough. Not enough to stroll around Indonesian part itself.

IMG_2657IMG_2656[1]IMG_2696 IMG_2686[1] IMG_2684[1] IMG_2699[1]

 

Maurilla